Sunday, 15 May 2016


SAUNG ANGKLUNG UDJO:

Berbisnis dengan modal social dan kultural

Tito Panggabean



Ayib pelajar SMA kelas II, menggoyang cepat angklung toel dengan nada nada lincah pindah dari satu nada ke nada lain mengikuti partitur yang sudah dihafal dengan memainkan Symphony no.40 Wolfgang Amadeus Mozart. Itu adalah lagu penutup acara pertunjukan seni musik angklung dari Saung Angklung Udjo (SAU) sore itu. Penonton berdiri dengan memberi aplaus atas kemahiran Ayib memainkan musik klasik yang tergolong rumit dengan alat angklung toelnya. Sebuah tanda yang penting, bila dilihat para penonton itu adalah wisatawan asing (bule), yang bagi mereka  tepuk tangan sambil berdiri adalah bentuk penghargaan yang tulus atas kehebatan pertunjukan yang ditontonnya.

Ia adalah satu dari sekian banyak murid gemblengan SAU yang mempesona. Tidak menyangka kalau Ayib sudah melanglang buana ke berbagai negeri di dunia karena kehebatannya bermain angklung. Bersama beberapa temannya ia mulai belajar angklung sejak TK. Ketekunan dan ketelatenan belajar dan sekaligus apresiasi pada para guru yang membimbing membuktikan bahwa Saung Angklung Udjo (SAU) berhasil melestarikan salah satu seni budaya di Indonesia dan sekaligus memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan hanya  Bali. Promosi angklung ke mancanegara membuka mata dunia bahwa atraksi menarik juga dapat disaksikan di bumi Priangan.

Perjalanan SAU tidak setahun dua tahun. SAU didirikan oleh Udjo Ngelagena tahun 1966 dengan visi misi keharmonisan musik anak dan lingkungan. Para pendiri itu mulai pertunjukan seperti pengamen. Bersepeda atau jalan kaki mendatangi hotel demi hotel, dari rumah ke rumah, mempersembahkan peragaan permainan musik angklung dengan tarian. Adalah Daeng Soetigna, seorang guru musik yang menciptakan dan mengubah nada angklung yang pentatonis menjadi diatonis, sehingga memungkinkan angklung menjadi alat musik yang dapat memainkan lagu-lagu dengan tangga nada  yang dikenal lebih luas di dunia. Dua orang itu kemudian membawa SAU menjadi salah satu organisasi seni pertunjukan yang sukses di Indonesia. Tetapi dua orang itu tidak pernah lupa bahwa kesuksesan mereka juga karena dukungan warga sekitarnya. Rombongan seni budaya angklung itu semula adalah orang-orang yang tinggal di kampung itu. Mereka mengikuti, belajar dan menjadi bagian dari pertunjukan angklung tanpa dibayar. Seolah ada komitmen bahwa dahulukan pertunjukan yang sukses dan menghibur orang lain, bayaran atas pertunjukan dilakukan kemudian. Anak-anak Udjo juga bekerja untuk terus melanggengkan cita-cita orangtua mereka. Anak-anak-anak  Udjo membagi pekerjaan sesuai dengan kemampuan. Ada yang menciptakan kreasi-kreasi baru angklung, ada juga yang mengelola SAU menjadi sebuah bisnis keluarga yang sukses.

Sekarang, tempat pertunjukan sekaligus berbagai kegiatan lainnya terasa semakin sempit di lahan seluas 2 hektar itu.  Ada tempat pertunjukan, toko suvenir, akomodasi atau guesthouse,  rumah makan, kantin, bagian produksi, gudang penyimpanan barang yang siap kirim maupun barang untuk pentas. Lahan parkir tidak muat lagi ketika musim libur anak sekolah, dan SAU dibanjiri kunjungan wisatawan. Bahkan antisipasi liburan sabtu minggu pun tidak mampu ditampung oleh SAU. Dua tahun lalu SAU harus membeli lahan bekas pabrik pensil untuk dijadikan tempat proses produksi dari bambu menjadi angklung. SAU memberdayakan penduduk sekitar dan berbagai tempat di Jawa Barat untuk membuat angklung karena desakan permintaan yang terus menerus dari berbagai penjuru Indonesia maupun dunia.

Seperti visi misi pendirinya, SAU tidak pernah meninggalkan warga sekitar yang sejak awal berdiri bersama saling bahu-membahu membesarkan SAU. Para pemain angklung, penari, pembuat alat musik bambu, pemain musik lainnya yang mengisi acara pertunjukan, sebagian besar berasal dari warga sekitar. Seolah SAU tidak pernah kehabisan sumber daya manusia, karena warga sekitar turun temurun seperti keluarga. Tidak dapat dikesampingkan bahwa pertalian persahabatandan kekerabatan  dengan warga di situ adalah modal sosial. Hubungan yang tidak semata-mata berbasis kepentingan ekonomi,  tetapi berlandaskan integritas sosial yakni saling percaya, terus ditanamkan. Kasus-kasus kecurangan pernah terjadi, namun bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bersifat kekeluargaan.

Modal sosial adalah kata tepat untuk melihat bisnis SAU yang ujung tombaknya adalah seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan SAU,  dibutuhkan para pemain angklung, penari dan pembawa acara. Selain itu juga dibutuhkan peralatan musik yang berkualitas baik. Perpaduan itu memungkinkan kombinasi seni suara, musik tari yang handal yang dapat menarik perhatian penonton.

emain angklung direkrut dari anak-anak melalui pelatihan tiap 3 kali seminggu. Anak sejak usia dini sudah diperkenalkan pada bunyi-bunyian angklung atau alat musik lainnya. Ada jenjang latihan dimulai dari kelas pemula sampai dengan kelas senior. Sumber pemain angklung ini tak pernah pupus, setiap tahun lebih dari 800 anak yang mendaftar menjadi pemain angklung. Tetapi hanya dua ratus lima puluh saja yang mampu diserap. Proses seleksi yang ketat sekaligus suasana pembelajaran metode anak-anak dijalankan. Ketekunan, disiplin dan kreativitas diciptakan agar anak-anak tidak bosan berlatih.

Latihan tidak boleh mengganggu sekolah. Anak-anak yang baru masuk pelatihan umumnya di jenjang  sekolah dasar dari kelas 1 sampai 6. Tidak dibedakan mereka yang kelas 1 atau pun kelas 6, kalau dianggap masih pemula, maka pelatihan disamakan. Sejauh ini tidak ada kesulitan mendidik tingkat dasar pada murid kelas 1 dengan kelas 6 di tingkat dasar. Mereka yang sudah masuk di tingkat kedua bisa tampil, dengan seleksi.

Mereka yang sudah di tingkat kedua, dapat tampil sebagai pemain pembantuyang ditampilkan  secara bergantian.  Karena pertunjukan dilakukan setiap hari maka setiap anak pasti mendapat giliran  ikut pertunjukan.

Angklung tidak  dibuat dengan bahan dan cara sembarangan. Bahan bakunya adalah bambu pilihan. Ada jenis bambu hitam, bambu apus dan bambu.....  Ketiga jenis bambu itu tidak langsung diolah jadi angklung, tetapi harus direndam kemudian diangin-anginkan selama satu tahun. Bambu juga tidak boleh dijemur langsung kena matahari. Panas matahari akan merusak karena bambu menjadi getas. Setelah kira-kira  setahun, barulah bambu siap jadi bahan baku angklung.

SAU bekerjasama dengan mitra-mitra pengrajin bambu, baik yang berada di bawah koperasi pengrajin maupun secara individual atau keluarga. Bahan baku disuplai oleh SAU,  lalu setelah diolah menjadi angklung, hasilnya disuplai kembali oleh pengrajin ke SAU. Hubungan timbal balik pun terjadi dengan mengacu pada asas saling menguntungkan. Kecurangaan kadang terjadi, misalnya pengrajin tidak mensuplai seusia dengan permintaan dan penyediaan bahan baku yang sudah diberikan. Satu batang bambu misalnya, diperkirakan menghaslkan 4 angklung, namun hasilnya kurang dari itu. Salah satu cara penyelesaian adalah dengan mengurangi bahan baku dan kuota pengrajin. Hubungan mereka yang sudah terjalin lama membuat cara ini lebih efektif. Adakalanya pengrajin tidak memenuhi target minggu ini, tetapi pada minggu-minggu berikutnya dapat melebihi target.

SAU juga melakukan pembinaan bagi para petani budi daya bambu di tempat-tempat lain di Jawa Barat. Ini sebagai antisipasi terhadap semakin langkanya bambu. Ada lahan hutan bambu yang diberikan oleh Kementrian Kehutanan kepada SAU untuk dikelola. Ini juga merupakan  cara menjamin  ketersediaan bahan baku angklung.

Toko souvenir adalah bisnis yang juga diandalkan selain pertunjukan. Barang-barang yang dijual masih bernuansa bambu, walaupun ada juga yang dari bahan baku lain. Salah seorang dari managemen mengatakan bahwa barang yang dijual bisa saja bukan bahan bambu tapi masih bernuansa Sunda dan lingkungan setempat, serta tradisional. Toko cindaramata juga menampung barang-barang yang bukan berasal dari produksi warga sekitar. Bahkan ada yang diproduksi dari Malang, Jawa Timur seperti kalung dari batu-batuan.

Toko suvenir bisa menghasilkan omset 40 juta rupiah, apalagi pada musim wisata atau liburan anak sekolah. Tapi di saat sepi toko suvenir hanya menghasilkan 4 juta rupiah saja dalam 1 hari. Omset ini belum termasuk omset dari hasil pameran di berbagai daerah mengiringi pertunjukan. Juga penjualan di stand-stand yang ada di mall di kota besar seperti di Cilandak town Square di Jakarta Selatan, atau di Grand Indonesia, juga di Jakarta.

SAU juga mengelola guesthouse dan homestay, kantin dan rumah makan yang ada di area SAU. Pengelolaan ini sebenarnya tidak sengaja, ketika  kebetulan ada tamu-tamu asing yang belajar kebudayaan Sunda selama 3 bulan. Ini adalah program dari Kementrian Luar Negeri yang mengundang orang asing untuk belajar kebudayaan Sunda.  Salah satunya adalah dengan menempatkan mereka di SAU. Karena kebutuhan itu maka dibangunlah akomodasi bagi tamu-tamuitu untuk memudahkan mereka belajar setiap hari, tidak saja untuk memainkan alat musik angklung tetapi juga belajar bahasa, berpakaian, tatacara, sopan santun dengan gaya Sunda.

Selain itu juga ada training for trainers yang diselenggarakan selama 10 hari atau 2 minggu yang mengharuskan pesertanya dekat dengan sumbernya. BBM atau Belajar Bareng Maestro yang makan waktu selama 10hari dilaksanakan secara intensif melalui metode live in para peserta nya agar dekat maestro yang tidak saja para ahli musik angklung tetapi juga ahli tari seperti Didik Nini Towok.

Akhirnya, menurut tutur corporate secretary SAU, SDM di SAU masih harus ditingkatkan lagi. Katanya lagi, suasana keakraban kekeluargaan, tidak boleh menjadikan profesionalitas menjadi nomor dua. Masih diperoleh SDM yang kreatif dan bisa mengembangkan bisnis keluarga, meningkatkan kesejahteraan warga sekitar dan sekaligus mempertahankan daan mengembangkan seni budaya Sunda yang khas.

SAU, yang diperjuangkan oleh pendirinya, Udjo Ngelagena  sudah bisa dikatakan menunjukkan perkembangannya. SAU telah berkembang menjadi sebuah sistem pertunjukan yang relatif berdikari dari hulu hingga hilirnya.

Setidaknya SAU mempunyai modal, seperti yang dikatakan oleh pierre bourdieu, yang penting dalam upaya pengembangannya yakni modal ekonomi (uang dan barang); modal sosial (hubungan-hubungan sosial); modal budaya (keterampilan, pengetahuan). Tiga modal itu berhubungan dengan seni pertunjukan angklung . Tiga modal itu bersinergi menjadi sebuah kekuatan seni pertunjukan  Angklung yang sejak awal sudah diwanti-wanti oleh pendirinya Udjo Ngelagena dan Daeng Soetigna.